Salah satu dasar keyakinan
Kristen terhadap keaslian semua teks Alkitab adalah kemampuannya tahan uji
selama 2000 tahun terhadap semua lawannya. Sebaliknya, Al-Qur’an dipastikan
akan hancur kalau diuji dengan kriteria yang sama. Ternyata Alkitab adalah
Firman Allah yang diturunkan – pasti, diuji dan lulus. Sama nyata adalah fakta
bahwa Al Qur’an hanya karangan seorang untuk suku bangsanya sendiri yang tidak
mampu tahan uji kalau keasliannya dites (diuji).
Pengaruh Metodologi Bibel
Terhadap Studi Alquran
Laporan : Adnin Armas, Republika
29 November 2004
Para Orientalis dan pujangga
ilmiah keislaman seperti Ignaz Goldziher (m. 1921), mantan mahasiwa al-Azhar, Mesir,
Theodor Noldeke (m. 1930), Friedrich Schwally (m. 1919), Edward Sell (m. 1932),
Gotthelf Bergstresser (m.1933), Leone Caentani (m. 1935), Alphonse Mingana (m.
1937), Otto Pretzl (m. 1941), Arthur Jeffery (m. 1959), John Wansbrough (m.
2002) dan muridnya Prof Andrew Rippin, serta Christoph Luxenberg (nama
samaran), dan masih banyak lagi yang lain, membawa pandangan hidup mereka
(world view) ketika mengkaji Islam.
Mereka mengadopsi metodologi
Bibel ketika mengkaji al-Quran. Pendeta Edward Sell, misalnya, menyeru
sekaligus mendesak agar kajian terhadap historisitas al-Quran dilakukan.
Menurutnya, kajian kritis-historis al-Quran tersebut perlu menggunakan
metodologi analisa bibel (biblical criticism). Untuk merealisasikan gagasannya,
ia menggunakan metodologi higher criticism dalam bukunya Historical Development
of the Quran, yang diterbitkan pada tahun 1909 di Madras, India.
Senada dengan Pendeta Edward
Sell, Pendeta Alphonse Mingana di awal-awal artikelnya menyatakan bahwa:
‘Sudah tiba masanya untuk
melakukan kritik teks terhadap al-Quran sebagaimana telah kita lakukan terhadap
Bibel Yahudi yang berbahasa Ibrani-Aramaik dan kitab suci Kristen yang
berbahasa Yunani’.
Alphonse Mingana, Syriac
Influence on the Style of the Kur’an, Manchester Bulletin 11: 1927.
Noldeke, Schwally, Bergstresser,
dan Pretzl bekerja sama menulis buku Geschichte des Qorans (Sejarah al-Quran).
Buku yang menggunakan metodologi Bibel ini, mereka tulis selama 68 tahun sejak
edisi pertama dan selama 40 tahun sejak diusulkannya edisi kedua. Hasilnya,
sampai saat ini, Geschichte des Qorans menjadi karya standar bagi para
orientalis khususnya dalam sejarah kritis gubahan dan penyusunan al-Quran.
Seirama dengan yang lain, Arthur
Jeffery mengatakan:
‘Kita memerlukan tafsir kritis
yang mencontoh karya yang telah dilakukan oleh orientalis modern sekaligus
menggunakan metode-metode penelitian kritis modern untuk tafsir al-Quran.’
(Arthur Jeffery, Progress in the
Study of the Quran Text, The Moslem World 25: 1935).
Jeffery selanjutnya menumpukan
hasratnya untuk membuat tafsir-kritis al-Quran. Salah satu caranya dengan
membuat kamus al-Quran. Menurutnya, karya-karya tafsir selama ini tidak banyak
memuat mengenai kosa kata teknis di dalam al-Quran. Menurutnya lagi, para
mufasir dari kalangan Muslim, masih lebih banyak yang tertarik untuk
menafsirkan masih dalam ruang lingkup hukum dan teologi dibanding untuk
menemukan makna asal (original meaning) dari ayat-ayat al-Quran.
Merealisasikan impiannya, pada
tahun 1925-1926, ia mengkaji dengan serius kosa-kata asing di dalam al-Quran.
Hasilnya, ia menulis buku The Foreign Vocabulary of the Quran (Pengaruh
Kosa-Kata Asing di dalam al-Quran), Baroda: Oriental Institute, 1938). Ia
berharap kajian tersebut bisa dijadikan kamus al-Quran, sebagaimana kamus
Milligan-Moulton, sebuah kamus untuk Perjanjian Baru (The New Testament).
Tidak berhenti dengan kajian
filologis (philological study), Jeffery juga mengadopsi analisa teks (textual
criticism) untuk mengkaji segala aspek yang berkaitan dengan teks al-Quran.
Tujuannya untuk menetapkan akurasi teks al-Quran. Analisa teks melibatkan dua
proses, yaitu revisi (recension) dan amandemen (emendation). Merevisi/recension
adalah memilih, setelah memeriksa segala material yang tersedia dari bukti yang
paling dapat dipercaya, yang menjadi dasar kepada sebuah teks. Amandemen adalah
menghapuskan kesalahan-kesalahan yang ditemukan sekalipun di dalam
manuskrip-manuskrip yang terbaik.
Jeffery telah mendapati, sejarah
teks (textual history) al-Quran sangat problematis (bermasalah) karena secara
hakiki, tidak ada satupun dari ortografi naskah al-Quran asli dulu yang masih
ada pada hari ini (sejak ratusan tahun yang telah berlalu).
Tidak ada naskah al-Quran yang
ada saat ini, yang tidak berubah.
Sekalipun perubahan naskah itu
alasannya demi kebaikan, namun tetap saja, menurut Jeffery, wajah teks asli
sudah berubah.
Manuskrip-manuskrip awal
al-Quran, misalnya, tidak memiliki titik dan baris dan ditulis dengan khat Kufi
yang sangat berbeda dengan tulisan yang saat ini digunakan.
Jadi, menurut Jeffery,
modernisasi tulisan dan ortografi, yang melengkapi teks dengan tanda titik dan
baris, sekalipun memiliki tujuan yang baik, namun telah merusak teks asli. Teks
yang diterima (textus receptus) saat ini, bukan fax dari al-Quran yang pertama
kali.
Namun, ia adalah teks yang
merupakan hasil dari berbagai proses perubahan ketika periwayatannya
berlangsung dari generasi ke generasi di dalam komunitas masyarakat. (Arthur
Jeffery, The Quran as Scripture, New York: R. F. Moore: 1952).
Dalam pandangan Jeffery, tindakan
masyarakat (the action of community) yang menyebabkan sebuah kitab itu dianggap
suci. Fenomena ini, menurutnya, terjadi di dalam komunitas lintas agama.
Komunitas Kristen (Christian community), misalnya, memilih 4 dari sekian banyak
Gospel, mengumpulkan sebuah korpus yang terdiri dari 21 Surat (Epistles), dan
menggabungkan dengan Perbuatan-Perbuatan (Acts) dan Apokalipse, yang semua itu
membentuk Perjanjian Baru (New Testament).
Ini sama halnya, menurut Jeffery,
dengan
penduduk Kufah yang menganggap
mushaf ‘Abdullah ibn Mas’ud sebagai al-Quran edisi mereka (their recension of
the Quran),
penduduk Basra dengan mushaf Abu
Musa,
penduduk Damaskus dengan mushaf
Miqdad ibn al-Aswad, dan
penduduk Syiria dengan mushaf
Ubay.
Bagaimanapun, mushaf-mushaf
tersebut lagi-lagi paralel sekali dengan sikap masing-masing pusat-pusat gereja
terdahulu yang masing-masing menetapkan sendiri beragam variasi teks di dalam
Perjanjian Baru. Teks Perjanjian Baru memiliki berbagai versi seperti teks
Alexandria (Alexandrian text), teks Netral (Neutral text), teks Barat (Western
text), dan teks Kaisarea (Caesarean text). Masing-masing teks tersebut memiliki
varian bacaan tersendiri.
Melanjutkan analisisnya, Jeffery
berpendapat mushaf-mushaf tersebut merupakan bagian dari mushaf-mushaf
tandingan (rival codices) terhadap mushaf Usmani. Ia kemudian berkolaborasi
dengan Bergstresser, guru Joseph Schacht merancang untuk membuat al-Quran edisi
kritis (a critical edition of the Quran).
Dua Ilmuan Islam: Mohammed Arkoun
dan Nasr Hamid
Dalam perkembangannya, metodologi
tersebut juga sudah diterapkan oleh sebagian pemikir Muslim. Mohammed Arkoun,
misalnya, sangat menyayangkan jika sarjana Muslim tidak mau mengikuti jejak
kaum Yahudi-Kristen. Dia menyatakan:
‘Sayang sekali bahwa
kritik-kritik filsafat tentang teks-teks suci — yang telah digunakan kepada
Bibel Ibrani dan Perjanjian Baru, sekalipun tanpa menghasilkan konsekuensi
negatif untuk ide wahyu –terus ditolak oleh pendapat kesarjanaan Muslim.’
Mohammed Arkoun, Rethinking
Islam: Common Questions, Uncommon Answers. London: Saqi Books, 2002
Dia juga menegaskan bahwa studi
al-Quran sangat ketinggalan dibanding dengan studi Bibel (Al-Kitab)(‘Quranic
studies lag considerably behind Biblical studies to which they must be
compared’). (Mohammed Arkoun, The Unthought in Contemporary Islamic Thought,
London: Saqi Books, 2002).
Menurut Arkoun, metodologi John
Wansbrough, memang sesuai dengan apa yang selama ini ingin dia kembangkan.
Dalam pandangan Arkoun, intervensi ilmiah Wansborugh cocok dengan framework
yang dia usulkan. Framework tersebut memberikan prioritas kepada metode-metode
analisa sastra yang, seperti bacaan antropologis-historis, menggiring kepada
pertanyaan-pertanyaan dan sebuah refleksi yang bagi kaum fundamentalis saat ini
tidak terbayangkan. (Mohammed Arkoun, Contemporay Critical Practices and the
Quran, di dalam Encyclopaedia of the Quran, Editor Jane Dammen McAuliffe,
Leiden: Brill, 2001).
Padahal John Wansbrough, yang
menerapkan analisa Bibel, yaitu form criticism dan redaction criticism kepada
al-Quran, menyimpulkan bahwa teks al-Quran yang tetap ada baru ada setelah 200
tahun wafatnya Rasulullah (Muhammad). Menurut John Wansbrough lagi,
riwayat-riwayat mengenai al-Quran versi Usman adalah sebuah fiksi yang muncul
kemudian, direkayasa oleh komunitas Muslim supaya asal-muasal al-Quran dapat
dilacak ke Hijaz (Issa J Boullata, Book Reviews: Qur’anic Studies: Sources and
Methods of Scriptural Interpretation, The Muslim World 67: 1977).
Menurut Arkoun, kaum Muslimin
menolak pendekatan kritis-historis al-Quran karena nuansa politis dan
psikologis. Politis karena mekanisme demokratis masih belum berlaku, dan
psikologis karena kegagalan pandangan muktazilah mengenai kemakhlukan al-Quran.
Padahal, menurut Arkoun, mushaf Usmani tidak lain hanyalah hasil sosial dan
budaya masyarakat yang kemudian dijadikan ”tak terpikirkan” dan makin menjadi
”tak terpikirkan” karena kekuatan dan pemaksaan penguasa resmi. Ia mengajukan
istilah untuk menyebut mushaf Usmani sebagai ”mushaf resmi tertutup (closed
official corpus)’. (Mohammed Arkoun, Rethinking Islam Today di dalam Mapping
Islamic Studies, Editor Azim Nanji).
Dalam pandangan Mohammed Arkoun,
apa yang dilakukannya sama dengan apa yang diusahakan oleh Nasr Hamid Abu Zayd,
seorang intelektual asal Mesir. Arkoun menyayangkan sikap para ulama Mesir yang
menghakimi Nasr Hamid. Padahal metodologi Nasr Hamid memang sangat layak untuk
diaplikasikan kepada al-Quran.
Nasr Hamid berpendapat bahwa
al-Quran sebagai sebuah teks dapat dikaji dan ditafsirkan bukan hanya oleh kaum
Muslim, tapi juga oleh Kristen maupun ateis.
Al-Quran adalah teks
linguistik-historis-manusiawi. Ia adalah hasil budaya Arab.
Adopsi sarjana Muslim terhadap
metodologi Bible terhadap al-Quran sangat disayangkan. Jika adopsi ini diamini,
maka hasilnya fatal sekali. Otentisitas (kesahihan) al-Quran sebagai kalam
Allah akan tergugat.
Al-Quran akan diperlakukan sama
dengan teks-teks yang lain.
Ia akan menjadi teks historis,
padahal sebenarnya (menurut iman & kepercayaan Muslim saja) ia adalah
‘Tanzil’. Ia jelas berbeda dengan sejarah Bible. Sumbernya juga berbeda.
Setting sosial dan budaya juga berbeda. Bahkan bahasa asli Bibel sudah tidak
banyak lagi digunakan oleh penganut Kristen. Sangat berbeda dengan kaum
Muslimin, yang dari dulu telah, sekarang masih, dan akan datang terus membaca
dan menghapal al-Quran dalam bahasa Arab. Oleh sebab itu, mengadopsi metodologi
Bibel terhadap al-Quran adalah adopsi dan metodologi yang orang Islam anggapi
dan akui sebagai salah kaprah.
Penulisnya ialah Kandidat Doktor
di ISTAC-IIUM, Kuala Lumpur
Source: Republika Online, Juga
paparan di Indonesia Watch dengan seizinnya.
Selasa, 30 November 2004.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar